Ilmu Budaya Dasar 9

A. Nilai-nilai Budaya

       Pengertian nilai budaya merupakan konsep abstrak mengenai masalah besar dan bersifat umum yang sangat penting serta bernilai bagi kehidupan masyarakat. Nilai budaya itu menjadi acuan tingkah laku sebagian besar anggota masyarakat yang bersangkutan; berada dalam alam pikiran mereka dan sulit untuk diterangkan secara rasional. Nilai budaya bersifat langgeng, tidak mudah berubah aaupun tergantikan dengan nilai budaya yang lain. Anggota masyarakat memiliki nilai sebagai hasil proses belajar sejak masa kanak kanak hingga dewasa yang telah mendarah daging.




B. Teori Budaya
       Macam – macam Teori Kebudayaa
       aTeori Evolusi Kebudayaan
Evolusionisme adalah perspektif antropologis yang menekankan anilisis pada kompleksitas kebudayaan berkembang sepanjang waktu. Evolusionisme merupakan gagasan untuk analisis teoritis dalam antropologi yang menggunakan dasar bahwa kebudayaan dari setiap masyarakat akan maju berkembang melalui tahapan evolusi yang sama. E. B Taylor dan L. H. Morgan mencetuskan perkembangan kebudayaan manusia pada beberapa tahap. Tahap pertama adalah liar (savegery) yang hidup dengan mengumpulkan buah-buahan, tanaman liar, dan lain sebagainya. Kedua adalah barbarisme (barbarism) mengenal pembuatan alat-alat seperti dari tanah liat atau tembikar, mengadakan irigasi, serta mulai mengembangkan alat-alat logam. Tahap yang ketiga adalah kebudayaan yang beradab (civilization) yang mulai mengembangkan dan memakai alfabet.
             1)      Konsep Evolusi Sosial Universal H. Spencer
Ahli filsafat Inggris H. Spancer (1820 – 1903) bersama dengan ahli filsafat Perancis A. Comte termasuk aliran cara berpikir positivisme, yaitu aliran dalam ilmu filsafat yang bertujuan menerapkan metodologi eksak yang telah dikembangkan dalam ilmu fisika dan alam, dalam studi masyarakat manusia. Agak berbeda dengan A. Comte, dalam studi-studinya Spencer mempergunakan bahan etnografi dan etnografika secara sangat luas dan sangat sistematis. Walaupun dalam tulisan-tulisannya Spancer selalu menyebut ilmu pengetahuan yang dilaksanakannya itu “ilmu sosiologi” yaitu istilah yang diciptakan oleh A. Comte, ia juga dianggap sebagai salah seorang tokoh utama dalam timbulnya ilmu antropologi.

Suatu contoh dari teori Spencer mengenai asal mula religi. Pangkal pendirian mengenai hal itu adalah bahwa pada semua bangsa di dunia religi itu mulai karena manusia sadar dan takut akan maut. Serupa dengan pendirian ahli sejarah kebudayaan E. B. Tylor, juga berpendirian bahwa bentuk religi yang tertua adalah penyembahan kepada roh-roh yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang-orang yang telah meninggal terutama nenek moyangnya. Bentuk religi yang tertua ini pada semua bangsa di dunia akan berevolusi ke bentuk religi yang menurut Spencer merupakan tingkat evolusi yang lebih komplek dan berdiferensiasi, yaitu penyembahan kepada dewa-dewa seperti dewa kejayaan, dewa kebijaksanaan, dewa perang, dewa kecantikan, dewa maut dan sebagainya. Namun, walaupun religi dari semua bangsa di dunia pada garis besar evolusi universal akan berkembang dari tingkat penyembahan roh nenek moyang ke tingkat penyembahan dewa-dewa, secara khusus tiap bangsa dapat mengalami proses evolusi yang berbeda-beda.
Contoh lain mengenai anggapan Spancer tentang perbedaan antara proses evolusi universal yang seragam dan proses evolusi khusus secara berbeda-beda, tampak dalam teorinya tentang evolusi hukum dalam masyarakat. Dalam hubungan itu Spencer berpendirian bahwa hukum dalam masyarakat manusia pada mulanya adalah hukum keramat, merupakan aturan-aturan hidup dan bergaul yang berasal dari para nenek moyang. Analisis secara sosiologi maka ketaatan warga masyarakat pada zaman tersebut kepada aturan-aturan yang mereka anggap berasal dari para nenek moyang itu adalah karena mereka saling butuh-membutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Azas timbal-balik inilah yang menjaga bahwa seorang individu tidak akan merugikan atau berbuat jahat terhadap sesamanya.
Dalam masalah terakhir Spencer sempat mengajukan juga pandangannya mengenai proses evoluasi pada umumnya. Menurut Spencer, seperti dalam evolusi biologi di mana jenis-jenis makhluk yang bisa hidup langsung itu adalah jenis-jenis yang paling cocok dengan persyaratan lingkungan alamnya, maka dalam evolusi sosial aturan-aturan hidup manusia serta hukum yang dapat dipaksakan tahan dalam masyarakat adalah hukum yang melindungi kebutuhan para warga masyarakat yang paling cocok dengan persyaratan masyarakat di mana mereka hidup yaitu : kebutuhan warga masyarakat yang paling berkuasa, yang paling pandai, dan yang paling mampu. Pandangan ini adalah pandangan Spencer mengenai “survival of the fittest”, yaitu daya tahan dari jenis atau individu yang mempunyai ciri-ciri yang paling cocok dengan lingkungannya.

             2)      Teori Evolusi Keluarga J. J. Bachofen
Teori-teori evolusi hukum yang berbeda dari pada teori Spencer diajukan oleh beberapa ahli hukum penting antara lain H. Maine yaitu ahli hukum Inggris yang terkenal dan J. J. Bachofen ahli hukum Jerman. J. J Bachofen juga menjadi terkenal dalam ilmu antropologi karena telah melambangkan teori tentang evolusi hukum milik, hukum waris, dan juga erat bersangkutan dengan teori tentang evolusi betuk keluarga. Teori yang diuraikan Bachofon dalam bukunya Das Mutterrecht (Hukum Ibu) dengan banyak bahan bukti yang tidak hanya diambilnya dari masyarakat Yunani dan Rum Klasik, tetapi juga bahan etnografi dari masyarakat bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan suku-suku bangsa Indian di Amerika. Menurut Bachofen diseluruh dunia keluarga manusia berkembang melalui empat tingkat evolusi. Dalam zaman yang telah lampau dalam masyarakat manusia ada keadaan promiskuitas yaitu di mana manusia hidup serupa binatang berkelompok dan laki-laki serta wanita berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunannya tanpa ikatan. Keadaan ini merupakan tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat manusia.
Perkawinan antara ibu dan anak laki-laki dihindari dan dengan demikian timbul adat exogami. Kelompok-kelompok ibu tadi itu menjadi luas karena garis keturunan untuk selanjutnya diperhitungkan melalui garis ibu, maka timbul sesuatu keadaan masyarakat yang oleh para sarjana waktu itu disebut matriarchate. Ini adalah tingkat kedua dalam proses perkembangan manusia. Dalam tingkatan ketiga proses perkembangan masyarakat manusia terjadi karena para pria tak puas dengan keadaan ini, lalu mengambil calon-calon isteri mereka dari kelompok-kelompok lain dan membawa gadis-gadis itu ke kelompok-kelompok mereka sendiri. Kejadian ini menyebabkan timbulnya secara lambat-laun kelompok-kelompok keluarga dengan ayah sebagai kepala, dan dengan meluasnya kelompok-kelompok serupa itu timbullah keadaan patriarchate. Tingkat terakhir terjadi waktu perkawinan di luar kelompok yaitu exogami berubah menjadi endogami karena berbagai sebab. Endogami atau perkawinan di dalam batas-batas kelompok menyebabkan bahwa anak-anak sekarang senantiasa berhubungan langsung dengan anggota keluarga ayah maupun ibu. Dengan demikian patriarchate lambat laun hilang dan berubah menjadi suatu susunan kekerabatan yang Bachofen disebut susunan parental.

            3)      Teori Evolusi Kebudayaan di Indonesia
Teori evolusi kebudayaan, terutama teori evolusi keluarga dari J. J. Bachofen, juga diterapakan terhadap aneka warna kebudayaan Indonesia oleh ahli antropologi Belanda G. A. Wilken (1847 – 1891). Ia memulai karirnya pada tahun 1869 sebagai pegawai Pangreh Praja (Pamong Praja) Belanda di Buru (Maluku), Gorontalo dan Ratahan (Sulawesi Utara), Sipirok dan Mandailing (Sumatra Utara). Karangan-karangan pertamanya sudah terbit sewaktu ia menjabat sebagai pegawai Pangreh Praja, yaitu mengenai sewa tanah dan mengenai adat pemberian nama di Minahasa (Wilken 1873 – 1875), karangan etnografi singkat dari pulau Buru (1875), juga karangan-karangan teori tentang evolusi perkawinan dan keluarga berjudul Over de Primitieve Vormen van het Huwelijk en de Oorsprong van het Gezin (1880 – 1881). Karangan ini menerangkan tingkat-tingkat evolusi Bachofen mengenai promiskuitas, matriarkhat, patriarkat dan keluarga parental.
Pada umumnya masalah-masalah serta gejala-gejala masyarakat dan kebudayaan ini selalu ada hubungannya dengan teori dasarnya mengenai evolusi keluarga, anggapannya tentang animisme adalah berdasarkan konsepsi seorang ahli yang menganut konsepsi evolusi kebudayaan bernama E. B. Tylor. Tetapi di pihak lain anggapannya tentang totemisme yang menurut Wilken pada mulanya adalah suatu kepercayaan kepada jenis-jenis itu menjadi tempat reinkarnasi roh nenek moyang, telah banyak mempengaruhi anggapan Tylor tentang totemisme. Akhirnya anggapan Wilken tentang hukum adat di Indonesia (Vollenhoven 1928 : 101 – 102). Oleh karena itu karangan-karangannya tentang hukum adat telah diterbitkan dalam jilid tersendiri, yaitu Opstellen Over Adatrecht (1926) di samping karangan-karangannya yang lain dikumpulkan menjadi empat jilid Verspreide Geschriften (1926).

           4)      Teori Evolusi Kebudayaan L. H. Morgan
Lewis H. Morgan (1818 - 1881) mula-mula adalah seorang ahli hukum yang lama tinggal di antara suku-suku bangsa Indian Iroquois, Lewis sebagai pengacara bagi orang-orang Indian dalam soal-soal mengenai tanah. Dengan demikian ia mendapat pengetahuan mengenai kebudayaan orang-orang Indian itu. Karangan etnografinya yang pertama terbit tahun 1851, berjudul League of the Ho de no Sau nie or Iroquois. Karangan-karangannya tentang orang Iroquois terutama berpusat pada soal-soal susunan kemasyarakatan dan sistem kekerabatan, dan dalam hal ini Lewis H. Morgan telah memberikan sumbangan yang besar kepada ilmu antropologi pada umumnya. Dalam memperhatikan sistem kekerabatan Morgan mendapatkan suatu cara untuk mengupas semua sitem kekerabatan dari semua suku bangsa di dunia yang jumlahnya beribu-ribu itu, yang masing-masing berbeda bentuknya.
Mula-mula Morgan tertarik akan suatu gejala bahwa istilah-istilah kekerabatan (istilah untuk menyebut kaum kerabat) dalam bahasa-bahasa Iroquois itu tidak sama isinya dengan istilah-istilah kekerabatan dalam bahasa Inggris. Istilah hänih dalam bahasa Seneca misalnya (salah satu logat Iroquois) lain isinya dengan istilah father dalam bahasa Inggris. Hänih menunjukkan banyak individu yaitu ayah, semua saudara pria ayah dan semua saudara pria ibu. Sebaliknya father hanya menunjukkan seorang individu saja, yaitu ayah. Morgan mengerti bahwa di belakang perbedaan sistem kekerabatan dalam bahasa juga terletak perbedaan dari sistem kekerabatan hak-hak dan kewajiban. Dalam bahasa Iroquois hanya disebut dengan satu istilah yang sama karena sikap, hak-hak dan kewajiban terhadap ayah dan saudara ayah itu sama. Tetapi berbeda dengan bahasa Inggris ayah dan saudara ayah berbeda hak-hak dan kewajibannya.

             5)      Teori Evolusi Religi E. B. Tylor
      Edward B. Tylor (1832-1917) adalah orang Inggris yang mula-mula mendapatkan pendidikan dalam kesusasteraan dan peradaban Yunani dan Rum Klasik, dan kemudian tertarik akan ilmu arkeologi. Pada tahun 1856 beliau turut mengikuti exspedisi Inggris untuk menggali benda-benda arkeologi di Mexico. Dan dapat menghasilkan buku sendiri mengenai kebudayaan Mexico kuno berjudul “Anahuac, or Mexico and the Mexicans, Acient and Modern” (1861), buku ini merupakan hasil karya Tylor yang pertama. Buku tersebut merupakan sumbangannya terhadap perkembangan antropologi. Dari karangan buku yang berjudul “Researches into the Early History of Mankind”(1871) yang tebalnya dua jilid, tampak pendiriannya sebagai penganut cara berpikir Evolusionisme. Seorang ahli antropologi bertujuan mempelajari sebanyak mungkin kebudayaan yang beraneka-ragam di dunia, mencari unsur-unsur persamaan dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut dan kemudian mengklaskannya berdasarkan unsur-unsur pesamaan tersebut sedemikian rupa, sehingga tampak sejarah evolusi kebudayaan manusia dari tingkat satu ketingkat yang lain. Dalam penelitiannya mengambil unsur-unsur budaya seperti sistem religi, kepercayaan, kesusasteraan, adat-istiadat, upacara dan kesenian. Penelitiannya menghasilkan karya “Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art and Custom” (1874). Dalam buku tersebut mengajukan teori tentang asal-mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa. Kesadaran akan faham jiwa disebabkan karena dua hal :
1.      Perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan yang mati.
2.      Peristiwa mimpi manusia melihat dirinya ditempat-tempat lain. Bagian lain itulah yang disebut jiwa.
Pada waktu hidup jiwa masih tersangkut pada tubuh jasmani dan hanya dapat meninggalkan tubuh manusia waktu tidur atau pingsan. Karena pada saat-saat serupa kekuatan hidup pergi melayang, maka tubuh dalam keadaan lemah tetapi masih ada hubungan jiwa dengan jasmani pada saat tidur atau pingsan. Alam semesta penuh dengan jiwa-jiwa merdeka (jiwa yang telah terlepas dan tidak ada hubungan dengan jasmani) Tylor tidak menyebut soul atau jiwa tetapi disebut spirit (makhluk halus atau roh). Dengan demikian pikiran manusia telah mentransformasikan kesadarannya akan adanya jiwa menjadi keyakinan kepada makhluk-makhluk halus.
Diantara beratus-ratus karangan Tylor, menjadi pangkal dari suatu metode penelitian baru yang kurang lebih empat puluh tahun kemudian berkembang dalam ilmu antropologi, yaitu karangannya On a Method of Investigating the Development of Institutions; Applied to the Laws of Marriage and Descent (1889). Dalam karangan tersebuttt   diantara lain menunjukkan dengan bukti angka-angka statistik bagaimana tingkat matriarchate berevolusi ke tingkat patriarchate (suatu pendirian yang berasal dari J.J Bachofen). Beliau mengambil tiga ratus masyarakat yang tersebar di berbagai tempat di dunia dan khusus memperhatikan adat istiadat yang bersangkutan dengan perkawinan. Mengenai adat couvade misalnya beliau mendapatkan bahwa adat tersebut tidak pernah berdampingan dengan sistem matriarchate, sedangkan ada delapan masyarakat dimana couvade berdampingan dengan patriarchate. Adat couvade dimaksudkan untuk memperkuat hubungan antara ayah dengan anak di dalam masa perubahan dari tingkat matriarchate ke tingkat patriarchate.

             6)      Teori J. R. Frazer Mengenai Ilmu Gaib dan Religi
J. G. Frazer (1854 – 1941) adalah ahli folklor Inggris yang sangat banyak menggunakan bahan etnografi dalam karya-karyanya dan karena itu kita anggap juga sebagai salah seorang tokoh pendekar ilmu antropologi. Karyanya mengenai asal mula dan perkembangan ilmu gaib dan religi yang juga dibayangkan olehnya sebagai suatu proses yang melalui tingkat-tingkat evolusi yang seragam bagi semua bangsa di dunia. Di antara karangan-karangannya mengenai folklor yang terbilang banyaknya itu ada dua buah yang terpenting mengandung uraian tentang asal mula dan evolusi ilmu gaib dan religi, yaitu Totemism and Exogamy (1910) yang terdiri dari empat jilid, dan karya raksasanya berjudul The Golden Bough (1911 - 1913) yang sebenarnya mengandung uraian dari teori Frazer telah diterbitkan dalam bentuk paperback setebal 864 halaman tahun 1960 yang tebalnya dua jilid oleh penerbit MacMillan Company. Teori Frazer mengenai asal mula ilmu gaib dan religi yaitu manusia memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya, tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya. Makin terbelakang kebudayaan manusia, makin sempit lingkaran batas akalnya. Soal-soal hidup yang tak dapat dipecahkan dengan akal dipecahkannya dengan magic. Menurut Frazer magic adalah semua tindakan manusia (atau abstensi dari tindakan) untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada di alam, serta seluruh komplek anggapan yang ada di belakangnya. Manusia mula-mula hanya mempergunakan ilmu gaib untuk memecahkan soal-soal hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Pada waktu itu religi belum ada dalam kebudayaan manusia. Lambat laun terbukti bahwa banyak dari tindakan magic tadi tidak ada hasilnya. Maka mulailah Frazer yakin bahwa alam di diami oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa dari padanya, lalu mulailah beliau mencari hubungan dengan makhluk-makhluk halus tersebut, dengan demikian timbullah religi. Religi adalah segala sistem tingkah laku dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa dan sebagainya yang menempati alam. Ilmu gaib adalah segala sistem tingkah laku dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan mempergunakan kekuatan-kekuatan dan kaidah-kaidah gaib yang ada di dalam alam. frazer membuat suatu klasifikasi dari segala macam tindakan ilmu gaib ke dalam beberapa tipe ilmu gaib dalam bukunya The Golden Bough.

              7)      Menghilangnya Teori-teori Kebudayaan
Pada akhir abad ke 19 mulai timbul kecaman-kecaman terhadap cara berfikir dan cara bekerja para sarjana penganut evolusi kebudayaan. Pengumpulan bahan keterangan baru terutama sebagai hasil penggalian-penggalian prehistori, bertambah banyak berkat aktifitas-aktifitas penelitian para ahli antropologi sendiri. Tingkat-tingkat evolusi dari para penganut teori-teori evolusi kebudayaan hanya merupakan konstruksi-konstruksi pikiran saja, yang tidak sesuai dengan kenyataan dan yang lama kelamaan tak dapat dipertahankan lagi. Pada permulaan abad ke 20 hampir tidak ada lagi karya antropologi yang berdasarkan konsep evolusi. Hanya kira-kira sekitar 1930 tampak adanya penelitian-penelitian antropologi yang berdasarkan konsep-konsep di Uni Soviet. Dalam tahun 1940-an muncul beberapa ahli antropologi Inggris dan Amerika yang menghidupkan lagi konsep-konsep mengenai evolusi kebudayaan, tetapi tidak bersifat seragam bagi semua bangsa di dunia.


                b.      Kelompok L’Année Sociologique
             1)      Majalah L’Année Sociologique
Ketika teori-teori tentang evolusi kebudayaan di Inggris, Jerman dan Amerika Serikat mulai kehilangan pengaruhnya di Perancis khususnya di Paris mulai tahun 1898 terbit suatu majalah mengenai ilmu sosiologi berjudul L’Année Sociologique yang diasuh oleh suatu ahli-ahli peneliti masyarakat di bawah pimpinan ahli sosiologi Emile Durkheim. Anggota-anggota lain yang tergabung dalam kelompok studi tersebut adalah M. Mauss, H. Beuchat, M. David, A. Bianconni, R. Hertz, Lucien Lévy-Bruhl dan lain-lain yang hampir semua menyebut dirinya ahli sosiologi atau ahli filsafat.
          Pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 di universitas-universitas di Perancis pun tidak ada antropologi, sedangkan ilmu sosiologi mula-mulanya memang timbul di Perancis akibat usaha ahli filsafat A. Comte. Para ahli sosiologi sesudah A. Comte mula-mula memang memusatkan perhatian mereka pada masalah-masalah social dalam masyarakat Perancis pada khususnya dan masyarakat Eropa pada umumnya, tetapi kemudian beberapa di antara mereka ada yang mulai menggunakan data dan fakta-fakta mengenai masalah-masalah sosial dari tempat-tempat lain di dunia, terutama dari daerah-daerah jajahan Perancis di Afrika, di Asia Tenggara dan di Oseania. Dengan demikian mereka tidak banyak berbeda dari ahli etnologi atau antropologi dan untuk membedakan diri dari ilmu sosiologi yang mempelajari soal-soal masyarakat perkotaan di Eropa, mereka menyebut diri ahli sosiologi etnografik. Emile Durkheim pemimpin kelompok studi  L’Année Sociologique adalah ahli sosiologi dalam arti pertama maupun ahli sosiologi etnografik.

             2)      Emile Durkheim
Emile Durkheim (1858 – 1917) lahir pada tahun 1858 di kota kecil Lorraine sebagai putra suatu keluarga Yahudi Perancis. Emile Durkheim belajar filsafat di Jerman dan tertarik akan karya-karya ahli-ahli filsafat seperti A. Comte, F. de Coulanges dan C. H. Saint Simon. Pada tahun 1887 beliau menjadi dosen ilmu sosiologi di Universitas Bordeaux dan dalam periode tersebut ia menuliskan ketiga karyanya yang pertama dan sangat penting mengenai masalah unsur-unsur elementer dan azas-azas masyarakat. Bukunya yang pertama adalah mengenai masalah pembagian kerja dalam masyarakat dan berjudul De la Division du Travail Social (1893). Karya pentingnya yang kedua adalah mengenai masalah aturan-aturan mengenai metode sosiologi yang berjudul Les Règles de la Méthode Sociologique (1895). Sedangkan karya yang ketiga mengenai gejala bunuh diri sebuah studi sosiologi yang berjudul Le Suicide; Etude de sosiologie. Sejak tahun 1898 Emile Durkheim menerbitkan majalah L’Année Sociologique bersama kelompok studi yang di binanya.
Konsep Fakta Sosial landasan dari seluruh cara berfikir Durkheim mengenai masyarakat adalah pandangannya mengenai suatu masyarakat yang hidup. Di situ ada manusia-manusia yang berfikir dan bertingkah laku dalam hubungan satu dengan lain. Manusia-manusianya disebut individu, sedangkan pikiran-pikiran yang mereka keluarkan dan tingkah laku mereka disebut gejala atau fakta individual. Dalam bertingkah laku manusia dihadapkan pada gejala-gejala atau fakta-fakta sosial yang seolah-olah sudah ada di luar diri para individu yang menjadi masyarakat tadi. Fakta-fakta sosial itu merupakan entitas yang berdiri sendiri, lepas dari fakta-fakta individu. Fakta-fakta sosial mempunyai kekuatan memaksa individu untuk berpikir menurut garis-garis dan bertindak menurut cara-cara tertentu. Pandangan Durkheim mengenai masyarakat, fakta-fakta sosial dan individu warga masyarakat yang menyesuaikan pikiran dan tingkah laku mereka dengan fakta-fakta sosial. Dalam buku keduanya Les Règles de la Méthode Sociologique buku pelajaran mengenai metodologi yang harus dipakai oleh seorang ahli sosiologi yang mempelajari dan menganalisa gejala-gejala sosial. Fakta-fakta sosial harus dipelajari secara objektif dengan memandangnya sebagai benda. Durkheim bermaksud menekankan bahwa seorang ahli sosiologi harus berusaha untuk menganggap gejala-gejala sosial itu sebagai kejadian-kejadian yang kongkret, dengan suatu lokasi tempat yang nyata dan dalam suatu jangka waktu tertentu. Dengan menggunakan metodologi mengobservasi, mengumpulkan fakta, menganalisa, mengklasifikasi, menginterpretasi fakta-fakta sosial, seorang ahli sosiologi harus meniru model yang diberikan para ahli fisika, kimia atau fisiologi dan meninggalkan metodologi spekulasi dan interpretasi fakta-fakta sosial dalam alam abstrak seperti yang dilakukan oleh para ahli filsafat. Pandanganya mengenai fakta-fakta sosial sebagai hal-hal yang mempunyai entitas sendiri memang sangat penting walaupun konsepnya mengenai fakta sosial masih belum seksama. Durkheim seringkali menyamakan fakta sosial dengan gejala sosial. Didalam bukunya mengenai metodologi sosiologi ia mengatakan bahwa fakta sosial adalah pranata sosial atau institution. Dalam ilmu sosiologi dan antropologi masa kini kansep yang diberi istilah-istilah khusus seperti gejala sosial, fakta sosial, manifestasi sosial, pranata sosial, dan norma serta nilai sosial tersebut memang telah dibedakan secara detail.
Konsep Gagasan Kolektif atau réprésentations collectives. dalam sebuah karangan khusus berjudul Réprésentations Individuelles at Réprésentations Collectives (1898) Durkheim menerangkan bahwa dalam alam pikiran individu warga masyarakat biasanya terjadi gagasan-gagasan dari proses-proses psikologi dalam organisme dari seorang individu, yang berupa penangkapan pengalaman, rasa, sensasi dan yang terjadi dalam organisme fisik, khususnya pada bagian syaraf, sungsum dan otak. Semua bayangan, cita-cita dan gagasan yang telah terbentuk dalam akal pikirannya disebut representations. Réprésentations Individuelles adalah gagasan-gagasan milik seorang individu yang berbeda dari gagasan milik seorang individu lain. Dengan naik satu tingkat abstaraksi ke atas dari gagasan konsep individu, Durkheim tiba pada gagasan kolektif. Karena dalam suatu masyarakat ada banyak manusia hidup bersama, maka gagasan-gagasan dari sebagian besar masyarakat tergabung menjadi komplek-komplek gagasan yang lebih tinggi yaitu gagasan kolektif. Gagasan kolektif oleh Durkheim dianggap berada di luar diri para individu. Karena sudah tercetuskan mendapat formasi dikembangkan dan dimantapkan maka gagasan kolektif biasanya terumuskan dan tersimpan dalam bahasa dari masyarakat yang bersangkutan dan dengan demikian dilanjutkan kepada generasi berikutnya. Gagasan kolektif juga dianggap berada di atas para individu karena mempunyai kekuatan untuk mengatur perilaku dan menjadi pedoman bagi kehidupan warga masyarakat.
Teori Emile Durkheim Tentang Azas Religi dalam karyanya yang berjudul Les Formes Elémentaires de la Vie Réligieuse (1912) yang berusaha menganalisa azas-azas dari religi dimana ia mempergunakan bahan keterangan etnografi dari masyarakat dan kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa yaitu masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa penduduk pribumi Australia. Dalam buku tersebut Durkheim melakukan tiga hal yaitu : (1) menganalisa religi yang dikenal sebagai wujud religi dalam masyarakat yang paling bersahaja dengan maksud menentukan unsur-unsur dan gagasan-gagasan elementer dari kehidupan keagamaan, (2) meneliti sumber-sumber azasi dari unsur-unsur dalam religi yang bersahaja dan (3) membuat generalisasi ke religi-religi lain mengenai fungsi azasi dari religi dalam masyarakat manusia. Alasan Durkheim memilih suatu sistem religi dalam masyarakat bersahaja adalah bahwa dengan demikian ia dapat lebih mudah meneliti unsur-unsur elementer dan konsep-konsep azasi dari religi itu tanpa terganggu oleh konsep-konsep, mite-mite, dan keyakinan-keyakinan komplek yang kemudian ditambahkan kepada konsep-konsep azasi oleh para pemuka agama, ulama atau penganut-penganut lain dalam religi yang bersangkutan. Durkheim kemudian meninjau berbagai macam teori yang ada tentang asal mula religi. Pertama-tama membahas teori E.B. Tylor tentang animisme, seandainya memang benar bahwa agama timbul karena pada suatu saat tertentu ada makhluk-makhluk manusia salah menginterpretasikan mimpi, seperti apa yang dikatakan oleh Tylor, maka sudah tentu religi itu sebagai ilusi sejak lama telah hilang dari masyarakat manusia. Dan karena itu ada suatu sistem religi lebih azasi dan karena itu lebih tua dari pada animisme dan sistem religi yaitu toteisme. Dalam kesimpulannya pada akhir karangannya, Durkheim menyatakan bahwa dalam semua sistem religi di dunia ada suatu hal yang ada di luarnya, suatu hal in foro externo (1937 : 606) dalam arti bahwa hal itu tetap akan ada dalam sistem religi, lepas dari wujud, isi, atau materinya yaitu kebutuhan asazi dalam tiap masyarakat manusia yang mengikuti sistem religi untuk mengintensifkan kembali kesadaran kolektifnya dengan upacara-upacara keramat. Kebutuhan ini menurut Durkheim akan tetap ada, juga dalam ilmu pengetahuan telah menggantikan kosmologi dan kosmologi agama dalam menerangkan azas-azas kekuatan alam dan juga ajaran agama telah menyesuaikan diri dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta otonomi moral individual yang makin lama makin meluas.
Studi Durkheim Mengenai Klasifikasi Primitif karya essay Durkheim sebagai ahli sosiologi etnografi dengan muridnya M. Mauss berjudul De Quelque Formes Primitives de Classification, Contribution a l’Étude des Réprésentations Collèctives (1903). Karangan tersebut membahas masalah gagasan kolektif tetapi dari sudut terapannya dengan mempergunakan data dan bahan keterangan yang justru tidak dari masyarakat Eropa melainkan dari masyarakat suku bangsa Tatathi, suku bangsa Wakelbura di Australia Tengah, penduduk pribumi Queensland di Australia Utara, suku bangsa Wotjobaluk di New South Wales di Australia Tenggara, suku bangsa Kiwai dan Bamuiang di pantai Selat Torres (Papua Nugini Selatan), suku bangsa Chingalee di pantai Teluk Carpentaria (Australia Utara), suku bangsa Arunta di sebelah selatannya, suku bangsa Mooravia di daerah Sungai Culgua di Australia Barat, suku bangsa Indian Zuni di daerah kebudayaan Amerika Barat Daya (negara bagian Colorado), suku bangsa Indian Sioux di daerah kebudayaan Plains (negara bagian Ohio) dan kebudayaan Cina Klasik. Karangan tersebut mempersoalkan cara-cara serta prosedur-prosedur manusia menggolong-golongkan segala hal, kejadian serta benda dalam lingkungannya ke dalam kategori-kategori tertentu serta logika yang ada di belakangnya. Durkheim dan M. Mauss mengembangkan hipotesis bahwa cara berfikir manusia-manusia tradisional atau dengan sebutan manusia primitive.

             3)      Marcel Mauss
Marcel Mauss (1872 – 1950) lahir di sebuah kota kecil Lorraine di Perancis dari keluarga Yahudi. Mauss adalah salah seorang di antara para sarjana kelompok studi l’Année Sociologique yang tidak gugur atau meninggal selama Perang Dunia I diantara tahun 1914 dan 1918. Dalam tahun 1925 ia mengumpulkan kembali kelompok studi l’Année Sociologique seperti dalam zaman Durkheim dan nomor pertama yang terbit sebagai suatu seri baru (Nouvelle Série) dalam tahun tersebut mengandung karangan mengenai fungsi dari pranata tukar-menukar hadiah dalam bentuk masyarakat berjudul Essai sur le Don (1925) artinya essai mengenai hadiah. Terjemahannya ke dalam bahasa Inggris The Gift pada tahu 1954 membuatnya terkenal dalam ilmu antropologi masa kini. Pecahnya Perang Dunia II dalam tahun 1940 menyebabkan bahwa untuk kedua kalinya ia mengalami bubarnya kelompok studi l’Année Sociologique Keadaan tersebut membuatnya putus asa dan sampai meninggal pada tahun 1950 ia tidak menghasilkan karya baru lagi.
Konsep Mauss Mengenai Intensifikasi Integrasi Sosial dalam karangan tersebut yang ditulisnya bersama mahasiswanya H. Beuchat mengenai Variations Saisonnières des Sociétés Eskimos ia mengembangkan suatu konsep struktural fungsional yang penting mengenai integrasi sosial masyarakat manusia. Karangan Mauss dan Beuchat mulai dengan suatu uraian geografi ekologikal mengenai lingkungan alam kutub dari daerah pemukiman Eskimo. Konsep yang dulunya didefinisikan oleh Durkheim adalah konsep morfologi sosial, Mauss dan Beuchat telah menggambarkan dua morfologi sosial dari masyarakat Eskimo yaitu morfologi sosial musim panas dan morfologi sosial musim dingin. Deskripsi Mauss dan Beuchat mengenai dua morfologi sosial masyarakat Eskimo ditulis secara sangat terampil dari bahan karangan yang termuat secara tercecer dalam lebih dari dua buah etnografi yang berasal dari berbagai zaman yang berbeda-beda termasuk bahan keterangan dari ilmu arkeologi. Kasus kehidupan Eskimo menurut Mauss dan Beuchat juga dapat memberi pelajaran kepada kita bahwa solidaritas sosial dari suatu masyarakat tersebut dapat mengendor dan menjadi intensif lagi menurut musim sehingga perlu ada usaha-usaha khusus untuk berulang-ulang mengintensifkan kembali solidaritas sosial tersebut. Salah satunya kekuatan penting untuk mengintensifkan kembali solidaritas sosial adalah sentimen keagamaan yang diintensifkan kembali oleh upacara keagamaan. Menurut Mauss dan Beuchat bahwa studi mereka merupakan suatu studi kasus secara mendalam yang bisa memberi pengertian yang lebih utuh mengenai azas-azas kehidupan masyarakat, agar dapat dikembangkan kaidah-kaidah sosial yang lebih mantap dalam sosiologi.    

              4)      Lucien Lévy-Bruhl
Lucien Lévy-Bruhl (1857 – 1945) ia menjadi terkenal dalam karangan ilmu antropologi pada permulaan abad ke 20 karena karya-karyanya mengenai masalah mentalitas primitif.
Konsep Mentalitas Primitif Lévy-Bruhl mulai tertarik akan masalah itu karena mula-mula membahas teori Tylor tentang asal muasal religi. Tylor pernah mengembangkan teori bahwa religi manusia timbul karena manusia purba pada waktu ketika menemukan adanya jiwa sebagai kesimpulan terhadap gambaran diri yang dibayangkan dalam mimpi. Lévy-Bruhl tidak setuju dengan teori itu karena  menganggap bahwa mentalitas manusia purba tak mungkin dapat berfikir secara abstrak seperti itu, untuk membahas dan mengecam teori Tylor ia mulai mempelajari banyak bahan etnografi  terutama yang termuat dalam jilid-jilid majalah l’Année Sociologique. Sesudah belajar ia siap melangkahkan kritiknya yang menjadi buku tebal dengan judul Les Fonctions Mentales dans les Sociétes Inférieurs (1910). Buku tersebut mulai dengan kritik yang luas terhadap teori Tylor, kemudian menjadi positif dengan mengajukan anggapan bahwa dalam alam pikiran manusia ada proses-proses jiwa yang sangat berbeda dengan  proses-proses jiwa dalam alam pemikirannya, apabila ia berpikir logika ilmu pengetahuan yang positif. Proses-proses jiwa yang berbeda tersebut disebut mentalité primitive atau cara berfikir primitive karena cara itu terutama ada dalam masyarakat yang primitif. Beda antara cara berfikir primitif dan cara berfikir menurut logika ilmiah terletak dalam tiga unsur yaitu :
  a. Loi de participation atau kaidah partisipasi yaitu terlihat dalam proses-proses rohani yang menghubungkan hal-hal yang tampak pada lahirnya sama, hal-hal yang bunyi sebutannya sama, hal-hal yang berdekatan tempat, hal-hal yang berdekatan waktunya, dan hal-hal berikut pada hal-hal lain itu masing-masing dalam hubungan sebab-akibat dan seringkali menyamakannya. Contoh : suku bangsa Bororo si individu merelakan diri satu pribadi dengan binatang totemnya yaitu burung kakak tua merah.
   b. Unsur mystique yang biasanya diartikan dalam ilmu teologi. Lévy-Bruhl memakainya untuk melukiskan suatu sifat dari alam pikiran primitif yaitu sifat yang menganggap seluruh alam diliputi oleh suatu kekuatan gaib tertentu yang rupa-rupanya berada di dalam segala hal. Kekuatan itu dianggap berada di luar kemampuan alam pikiran manusia tetapi dapat menyebabkan kebahagiaan maupun malapetaka.
   c. Unsur prélogique Lévy-Bruhl mencoba menerangkan suatu sifat dari alam pikiran primitif yang memungkinkan untuk menganggap sesuatu hal tersebut ada dan juga tidak ada pada suatu tempat dan saat. Anggapan bahwa Tuhan dapat berada pada suatu tempat tertentu pula, tetapi dapat juga berada pada tempat lain pada saat itu juga.
Alam pikiran primitif memang paling nyata dalam kehidupan bangsa-bangsa yang masih sangat kurang sekali terpengaruh oleh kebudayaan bangsa-bangsa modern, karena pada bangsa-bangsa tersebut unsur-unsur kebudayaan seperti upacara keagamaan, ilmu gaib, adat pantangan dan mitologi menguasai kehidupan hampir seluruh lapangan hidup. Ini tidak berarti bahwa manusia yang menjadi pemangku kebudayaan serupa itu tidak dapat berfikir logika, tetapi sebaliknya hal itu juga tidak berarti bahwa manusia modern tidak pernah berfikir menurut cara-cara mentalité primitive. Maka walaupun alam pikiran primitif itu memang lebih sering menguasai kehidupan manusia terbelakang, tetapi sebenarnya alam pikiran primitif itu ada dalam pikiran semua manusia di dunia. Setelah anggapan Lévy-Bruhl diumumkan kepada dunia ilmiah timbullah serangan-serangan dari tokoh-tokoh antropologi seperti W. H. R. Rivers, W. Schmidt, P. Radin A. A. Goldenweiser dan lainnya, ada pula sarjana-sarjana dari ilmu-ilmu lainnya. Dua orang sarjana Indonesia yang pernah juga melakukan kritikan terhadap teori Lévy-Bruhl yaitu T. S. G. Moelia dan P. J. Zoetmulder. Hampir semua kritik terutama dari kalangan ilmu antropologi menyalahkan Lévy-Bruhl dengan menyatakan bahwa ia telah menarik suatu garis yang terlalu keras antara bangsa-bangsa primitif dan bangsa-bangsa modern seolah-olah garis itu memisahkan dua kategori manusia yang masing-masing mempunyai susunan pikiran yang sama sekali berbeda. Lévy-Bruhl menyerah begitu saja, dan serangan-serangan yang hebat malah memberi dorongan kepadanya untuk tetap mempertahankan dan mempertajam anggapannya dalam kurang lebih lima belas karangan yang ditulisnya antara tahun 1910 dan 1938. Akhirnya ia menyerah dan menarik kembali seluruh teorinya tetapi hal tersebut baru diumumkan setelah ia meninggal.    
                  c.       Teori-teori Fungsional dan Struktural
              1.      Fungsionalisme Malinowski
Teori-teori fungsional dalam ilmu antropologi dikembangkan oleh seorang tokoh teori antropologi yaitu Bronislaw Malinowski (1884 – 1842). Bronislaw Malinowski mulai tertarik akan penggunaan praktis dari ilmu antropologi dalam meneliti dan mengatur proses perubahan kebudayaan tradisional bangsa-bangsa Afrika, Asia dan Oseania akibat pengaruh kebudayaan Eropa dan mencurahkan perhatian penuh terhadap antropologi terapan dalam administrasi kolonial yang disebut practical anthropology serta masalah-masalah sangkut pautnya dengan perubahan kebudayaan atau culture change. Bronislaw Malinowski mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisa fungsi dari kebudayaan manusia yang disebutnya teori fungsional tentang kebudayaan atau a fungctional theory of culture.
Etnografi Berintegrasi Secara Fungsional karangan etnografi pertama hasil penelitian lapangan di Kepulauan Trobriand di sebelah tenggara Papua Nugini berjudul Argonauts of the Western Pacific (1922). Pokok lukisannya adalah suatu sistem perdagangan antara penduduk kepulauan Trobriand atau Boyowa kepulauan Amphlett, kepulauan D’entrecasteaux atau Dobu, pulau St. Aignau atau Misima, kepulauan Laughlan atau Nada dan kepulauan Woodlark atau Murua. Dengan hanya perahu-perahu kecil yang bercadik dan dengan awak kapal yang berjumlah sepuluh hingga lima belas orang penduduk Trobriand dan penduduk kepulauan lain berani menyeberangi laut terbuka untuk berlayar dari pulau ke pulau sampai berates-ratus mil jauhnya. Benda-benda yang diperdagangkan dengan cara tukar-menukar (barter) berupa berbagai macam makanan, barang kerajinan, alat-alat perikanan, perkebunan, dan alat rumah tangga. Di samping itu tiap transaksi diadakan tukar menukar  dua macam benda perhiasan yaitu kalung-kalung kerang (sulava) dan gelang-gelang kerang (mwali) sistem perdagangan tersebut disebut sistem kula. Bronislaw Malinowski membedakan antara fungsi social dalam tiga tingkat abstarksi (Kaberry 1957 : 82) :
a)      Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abtraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat.
b)      Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abtraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan
c)      Fungsi sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.
Teori Fungsional Tentang Kebudayaan Malinowski mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat komplek. Tetapi inti dari teori tersebut adalah pendirian bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya.
Malinowski Tentang Perubahan Kebudayaan bahwa Malinowski tidak memperhatikan proses-proses perkembangan kebudayaan dalam pemikiran-pemikirannya. Dengan melukiskan suatu masyarakat dengan mengintegrasikan seluruh aspeknya menjadi satu, seolah-olah ia mengambil gambaran dari masyarakat tersebut pada saat itu saja, sehingga gambaran tersebut merupakan suatu pembekuan dari kehidupan masyarakat pada satu detik dalam ruang waktu. Kecaman tersebut diperhatikan oleh Malinowski dan pada akhir hidupnya ia berhasil menulis sebuah buku yang terbit anumerta berjudul The Dynamics of Culture Change, An Inquiry into Race Relation in Africa (1945). Dalam buku tersebut ia mengajukan suatu metode untuk mencatat dan menganalisa sejarah dan proses-proses perubahan kebudayaan dalam suatu masyarakat yang hidup.

              2.      Strukturalisme Radcliffe-Brown
Teori-teori struktural dalam ilmu antropologi ada beberapa macam, tetapi konsepnya untuk pertama kali diajukan oleh A. R. Radcliffe-Brown (1881 – 1955).
Etnografi Berintegrasi Secara Fungsional etnografi Radcliffe-Brown mengenai kebudayaan penduduk kepulauan Andaman berjudul The Andaman Islanders (1922) sangat miskin. Buku tersebut hanya mengandung deskripsi mengenai organisasi sosial secara umum tidak mendetail dan banyak memuat mengenai upacara keagamaan, keyakinan keagamaan dan mitologi. Cara ia melukiskan upacara keagamaan dan mitologi orang Andaman memang merupakan metode deskripsi yang pasti akan memuaskan Durkheim dan kawan-kawannya. Dalam kata pengantarnya Radcliffe-Brown memang menyatakan dengan jelas bahwa ia menerapkan konsepsi para ahli sosiologi Perancis yaitu H. Hubert.
             3.      Teori Fungsional Struktural Arthur Maurice Hocart
Seorang sarjana Inggris Arthur Maurice Hocart (1883 – 1939) ia menerbitkan banyak buku antara lain The Progress of Man and Kings and Councellors (1936).
Hipotesa Mengenai Fungsi Upacara dan Raja Hocart menulis sebuah buku yang sangat unik yaitu yang berjudul The Progress of Man and Kings and Councellors (1936) yaitu mengenai fungsi upacara dan raja dalam masyarakat manusia. Dengan menggunakan bahan etnografi dari empat puluh delapan suku bangsa dan peradaban (termasuk peradaban China, Inggris dan Yunani Kuno) dari delapan kawasan di duni, serta bahan sejarah dan arkeologi. Ia mengembangkan hipotesa mengenai terjadinya organisasi pemerintah yang disebut negara dalam masyarakat manusia serta hipotesa mengenai fungsi dari upacara serta tindakan-tindakan simbolik di dalamnya. 

C. Akulturasi Budaya

       Akulturasi berasal dari istilah bahasa latin “Aculturate”, yang berarti “tumbuh dan berkembang bersama-sama”. Bila diartikan secara umum dapat didefinisikan bahwa Akulturasi (aculturation, dalam bahasa inggris) merupakan perpaduan dua atau lebih kebudayaan, sehingga muncul budaya baru tetapi tidak menghilangkan budaya lama. Akulturasi budaya dapat terjadi karena disebabkan berbagai hal yang membuat ada dua kebudayaan berbeda dan kebudayaan yang berbeda tersebut rukun dan tanpa ada masalah.

       Contoh Akulturasi Budaya Dalam Kehidupan

Akulturasi budaya yang telah berhasil diserap dalam masyarakat selanjutnya menghasilkan pengaruh terhadap kehidupan. Pengaruh tersebut biasanya dituangkan dalam bentuk materiil. Sebagian besar dari contoh tersebut ada di sekitar kita, diantaranya adalah:

Seni Arsitektur dan Banguan

Banyak diantara budaya luar/asing yang terbukti sudah mengakulturasi budaya lokal. Salah satunya dari seni arsitektur dan bangunan yang ada. Banyak bangunan tipe lama mempunyai aksen budaya luar/asing. Terutama pada bangunan yang mencolok seperti candi, pura, masjid, maupun bangunan bersejarah.
Sebagai contoh, masjid demak menggunakan tipe bangunan jawa dengan aksen menara dan hiasan kaligrafi. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi akulturasi budaya antara budaya Jawa dan islam dari Timur Tengah dengan baik.

Seni Rupa dan Seni Pahat

Seni rua dan seni ahat meruakan media akulturasi budaya yang amat kental terasa. Dimana satu budaya dappat mempengaruhi aksen budaya lama dalam hal seni tersebut. Sebagaimana dapat dilihat pada peninggalan sejarah seperti candi atau situs sejarah.
Pada perangkat rumah tangga atau mata uang terdapat gambar dan ukiran hasil akulturasi. Misalkan saja pada masa kerajaan mataram hindu dan mataram islam. Di zaman mataram hindu perangkat rumah tangga bergambar dan berukiran manusia dan hewan. Sebab teregaruh oleh kebuudayaan hindu yang mengagungkan dewa dan binatang.
Sedangkan ada masa mataram islam, kebanyakan bergambar tumbuhan seperti sulur, daun, mauun bunga. Sebab islam menganjurkan untuk tidak menggambar manusia dan hewan.

Seni Sastra dan Bahasa

Bahasa juga termasuk gerbang akulturasi budaya paling cepat. Sebab bahasa adalah media komunikasi dan bertukar informasi. Sehingga sangat mudah tersebar dalam masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Nah, dari bahasa itu kemudian timbullah akulturasi pada seni kesusatraan.
Dimana budaya baru mampu menambah khasanah sastra lama menjadi bentuk baru. Misalkan saja pada kesusastraan berbentuk kitab jawa yang sudah ada sejak lama. Kemudian muncul budaya islam, sehingga mempengaruhi kitab lama.
Muncullah kitab kuning yang biasa diajarkan di pondok-pondok kuno. Dalam kitab kuning menggunakan huruf arab gundul tanpa tanda baca. Namun menggunakan lafal pengucapan bahasa Jawa. Contoh lainnya adalah hikayat, suluk dan cerita babad.

Sistem Penanggalan dan Penyusunan Kalender

Di zaman yang lebih modern, akulturasi budaya juga merambah pada sistem penanggalan dan penyusunan kalender. Pada masa awal kebudayaan lama, kalender yang digunakan merujuk pada sistem penanggalan saka dari budaya hindu. Kemudian pada masa islam masuk, penanggalan mempunyai referensi baru, yakni penanggalan hijriyah atau penanggalan islam.
Karena akulturasi budaya terjadi di tanah jawa, maka ketiga budaya ini menyatu. Muncullah penanggalan jawa dengan sistem penyusunan kalender baru. Yakni menggunakan perhitungan bulan dan jumlah hari sepeti hijriyah. Namun juga tetap menyertakan hari pasaran seperti penanggalan saka.

Sistem Pemerintahan

Pada zaman awal, budaya yang kental adalah budaya kerajaan dimana rakyat menghormati raja. Kemudian masuk beberapa agama seperti hindu dan budha, sehingga rakyat juga menghormati brahmana dan juga biksu. Juga menganggap raja adalah titisan atau reinkarnasi dewa. Sehingga harus diakamkan di candi atau pura.
Selanjutnya muncul ajaran agama islam, yang juga mempengaruhi budaya kerajaan. Dimana raja dan para pejabat kerajaan tidak boleh disembah, hanya boleh di hormati saja. Ketika meninggal maka dikubur berdasarkan cara islam.
Kemudian zaman kerajaan runtuh, digantikan oleh sistem pemerintahan republik. Dimana pemimpinnya adalah presiden, hal ini terjadi setelah adanya pengaruh budaya eropa setelah masa penjajahan.

Cara Berpakaian dan Kebiasaan

Dalam pergaulan akulturasi budaya sangat kental terasa, baik dari kebiasaan maupun cara berpakaian. Misalkan saja pada zaman dulu, pakaian Jawa masih banyak dipakai, baik oleh kalangan bawah, menengah, maupun atas. Seiring dengan masuknya islam, pakaian berubah dari budaya jawa menjadi budaya islam. Sehingga muncullah jubah dan gamis.
Kemudian jawa islam mengakulturasi budaya cina, maka muncullah baju koko atau baju takwa. Selain itu kebiasaan-kebiasannya juga berbah. Salah satu contohnya adalah kalimat salam “Assalamualaikum” yang digunakan saat bertamu, berkomunikasi, maupun saling menyapa.

Seni Musik dan Tarian

Seni musik dan tarian sangat kental terasa akulturasinya. Banyak dari jenis seni musik dan tari yang berakulturasi membentuk seni baru. Seperti misalkan seni musik kosidah dan hadroh yang mengakulturasi budaya musik timur tengah bernafaskan islami. Tetapi alat yang digunakan adalah modifikasi dari kendang yang meruakan budaya lokal.
Sedangkan pada seni tari, yang khas adalah tarian saman. Dimana taran ini menggunakan kostum islami dan gerakan yang tidak menonjolkan gerak tubuh. Ada juga tari piring yang sekarang lebih cenderung menggunakan kostum islami.

0 komentar:

Posting Komentar

Vote

Pendapatmu Bagaimana?

Powered by BooRoo.com

Sangat Baik0%
Baik0%
Cukup0%
Kurang Baik0%

Create a Free Web Poll